13 Juli 2010

Cerpen


Tanah Merah Basah

Pagi ini hujan turun dengan sangat deras. Terlihat Marina kocar-kacir mencari dimana letak baskom untuk menampung air hujan. Atap rumah yang hanya terbuat dari susunan daun rumbia itu tak mampu melindungi si empunya rumah dari hujan yang mengalir mencari celah untuk jatuh. Sayangnya tanah yang berfungsi sebagai lantai di rumah itu, tak lagi sanggup menyerap air karna tua dipijaki zaman dan apabila air dibiarkan masuk maka rumah ini akan tergenangi oleh air.

Janda yang baru ditinggal mati sebulan lalu oleh suaminya itu harus membanting tulang untuk menghidupi anak-anaknya. Tak ada satu apapun yang diwariskan oleh suaminya, hanya rumah yang berukuran empat×delapan meter warisan orangtuanya yang ia punya untuk ditinggali. Sambil meneriaki nama anak sulungnya Aisyah, tampak Marina tergopoh-gopoh mencari tempat-tempat terjatuhnya air sambil meletakkan baskom yang ada ditangannya tepat dibawahnya.

“Aisyah…Aisyah…cepat kemari nak, bantu Ibu menampung air hujan.” Sorak Marina kepada anaknya.

“Iya Bu…sebentar” jawab Aisyah.

Tampak Aisyah berlari kecil dari kejauhan menuju ibunya yang sedang sibuk dengan baskom-baskom ditangannya. Tanpa banyak tetek-bengek Aisyah langsung menyambar baskom-baskom ditangan ibunya seraya tersenyum lebar sehingga tampak semua gigi susunya yang kecoklatan. Sesegera mungkin Asyiah meletakan baskom itu tepat dimana air-air berjatuhan dari atap rumahnya. Melihat kelakuan anaknya itu, Marina hanya tersenyum dan tertawa kecil. Tak lama kemudian terdengar tangisan bayi berumur tiga tahun, dialah Fadil adik sematawayang Asyiah. Melihat Aisyah yang masih bergelut dengan baskom-baskom ditangannya, Marina sadar bahwa ia tak dapat diganggu maka dari itu, Marina pergi sendiri melihat anak bungsunya tersebut.

Hari menunjukan pukul 12 siang, tapi sepertinya mentari teramat sedih sehinnga walaupun hujan sudah lama turun, tapi masih menolak tuk berhenti menangis. Terdengar sayup dentingan-dentingan mainan dari besi yang tergantung di ambang pintu kamar Marina dan anak-anak biasa tidur. Ternyata Marina tertidur saat menidurkan Fadil dipangkuannya, dan disampingnya ada Aisyah sedang tidur yang matanya terbuka bila tidur pulas. Dengan berhati-hati Marina meletakkan fadil keatas buayan dan bangkit dari tempat tidur. Lalu marina beranjak menuju dapur yang berisi dengan sebuah rak piring kecil yang disampingnya tergantung kuali dan dibawah kuali ada tungku untuk memasak.

“Bagaiman ini, apa yang harus saya kerjakan? Kalau mau membuat kue pastel untuk dijual, bahannya sudah habis. Uangku hanya tinggal 5000 saja, kalau mau ngutang, pasti Mak Asih tidak mau ngasih karena hutang ku yang lama belum aku bayar. Sekarang beras sudah habis, lauk untuk di masak juga tidak ada. Mau makan apa siang ini, ya Allah…berilah hamba kekuatan untuk menjalankan hidup ini”, rintih Marina dalam hati dengan mata berkaca-kaca.

Marina menghapus airmatanya yang akhirnya jatuh setelah lama mengepul dalam hatinya. Segera ia pergi ke warung Mak asih untuk membeli atau lebih tepat menambah hutang agar mendapat bahan makanan untuk dimakan malam ini. Sesampainya di warung Mak Asih, Marina tidak disambut dengan antusias, dengan nada yang menyindir Mak Asih menanyakan perihal Marina datang ke warungnya.

“Mau apa lagi kamu kesini, mau menambah hutang atau membayarnya?” Tanya Mak Asih dengan ketus.

Dengan mata berkaca-kaca yang tak mampu menatap lawan bicaranya Marina tampak tertunduk. Ia mengapit bibir bawah dengan gigi atasnya seraya memikirkan rangkaian kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan yang ditudingkan keadanya.

“ Maaf Mak, saya tidak bisa membayar hutang saya sekarang, hari dari pagi hujan jadi saya tidak bisa berjualan hari ini. ” Jawab Marina

“ Saya sudah menduga jawabanmu itu. Lalu mau apa kamu kesini, mau membeli beras?” Tanya Mak Asih lagi.

Sebelum Marina sempat menjawab, terdengar suara yang menyela dari sudut kanan warung Mak Asih. Tempat berkumpulnya ibu-ibu kurang kerjaan yang slalu menggosip disana.

“ Nah, kalau begitu berarti Marina mau berhutang lagi Mak… kalu dia datang untuk bayar hutang, tunggu dulu dia kawin dengan saudagar kaya” Timpal mereka serentak dibarengi dengan ketawa-ketiwi ala ibu-ibu arisan.

Marina hanya diam seribu bahasa, karena apa yang disampaikan oleh ibu-ibu tadi benar adanya. Tapi tidak semua perkataan mereka itu benar, malah menyakitkan untuknya. Hingga saat ini pun Marina hanya tertunduk mendengar tudingan itu.

“ Jadi benar yang mereka katakan, kalau kamu mau ngutang lagi, dan sanggup bayar apabila telah diperistri Saudagar kaya” kali ini suara tawa mereka menggelegar memenuhi ruangan warung.

“ Maaf Mak, saya memang mau ngutang lagi, tapi saya janji akan membayarnya bila saya mendapat rezeki lebih” jawab Marina dengan suara agak bergetar.

“ Sudahlah Mak…kasih saja dia ngutang lagi, kasihan kalau anak-anaknya tidak makan. Apa Mak mau kalau Aisyah dan fadil mati kelaparan hanya karna Mak tidak mau meminjamkan Marina beras dan lauk untuk makan, apa Mak tega?” kata Mbah Ndi yang sedari tadi mendengar percakapan Marina dan istrinya.

“ Ya sudah…Mbah aja yang ambilkan apa yang dia mau” celetuk Mak Asih sambil berlalu kedalam rumah.

“ Kamu mau beli apa Marina?” Tanya Mbah Ndi.

“ Saya mau beras dan satu petak tempe saja Mbah” jawab Marina.

Mendengar jawaban Marina tersebut, Mbah Ndi bersegera mangambilkannya dan memberikan kepada Marina sambil menyuruh Marina cepat pulang, dan masak agar anak-anak bisa makan. Mbah Ndi tau sekali keadaan Marina setelah ditinggal suaminya. Dia menganggap Marina seperti anaknya sendiri.

Setelah mengucapkan terimakasih kepada Mbah Ndi, Marina langsung pulang dan masuk kedapur untuk memasak. Seraya menunggu masakannya matang Marina menyempatkan melihat anak-anaknya yang sedang tertidur pulas. Kalau saja dua anak ini tidak ada, mungkin Marina tidak akan bisa bertahan sejauh ini. Bagi Marina merekalah kehidupannya.

Tiba-tiba Marina dikejutkan dengan ketokan pintu dari luar. Dengan cepat Marina menyambar ganggangan pintu untuk membukakan pintu. Tampak olehnya dua sosok pria bertubuh atletis berdiri tepat didepannaya.

Ada perlu apa dating kemari pak?” Tanya Marina

“ Kami dari Jakarta mau menagih hutang suamimu. Kami dengar dia sudah meninggal, makanya kami datang kesini untuk memintanya padamu” jelas salah satu orang itu.

“ Tapi saya tidak punya uang pak. Saya tidak tahu kalau suami saya berhutang sama bapak-bapak. Kalau saya boleh tahu berapa utang suami saya dan mana bukti hutangnya?” timpal Marina.

“ Ini bukti suami anda berhutang dan lihat saja sendiri berapa jumlah hutangnya disana!” suruh orang itu.

Melihat bukti hutang dan jumlah yang tertera disurat yang lengkap dengan matrai dan tanda tangan suaminya, Marina serasa disambar petir. Dimana akan dia cari uang sebesar seratus juta untuk melunasi hutang suaminya, sedangkan untuk makan sehari-hari saja ia harus berhutang juga. Marina berpikir untuk apa uang sebanyak ini oleh suaminya? Kenapa suaminya tak pernah bilang dan mengasihnya uang lebih dari biasanya?. Berbagai pertanyaan pun merasuk dalam pikiran Marina, setelah dua orang laki-laki berbadan atletis tadi berlalu. Mereka bilang Marina harus Melunasi hutang suaminya itu dalam waktu satu bulan.

Mendengar perintah itu, Marina langsung mengunci pintu dan menagis sejadi-jadinya tanpa suara. Dia pandangi dalam-dalam kedua buah hatinya tersayang. Dengan lembut Ia mengecup berkali-kali secara bergantian kening dua buah hatinya, seakan-akan dia tidak akan ada kesempatan lagi melakukannya.

Marina pergi kedapur melihat nasi yang ia masak tadi. Tapi tetap saja pikiran Marina tidak lepas dari hutang suaminya. Pertanyaan-pertanyaan masih bermunculan dari benaknya. Kini tatapannya mulai kosong, ia mulai menikmati dirinya dalam lamunan panjang. Setelah sadar ia melihat gulungan tali dan segera ia mengambil gulungan tali tersebut.

Marina masuk kedalam kamarnya dan mengambil kursi. Lalu Marina mengaitkan tali itu diantara kayu penyanggah atap rumahnya. Kemudian Ia membuat simpul ditali itu dengan lubang sebesar kepalanya. Ia tatap anak-anaknya dalam-dalam, dengan isak tangis dan bercucuran air mata ia memasukkan kepalanya kedalam lubang tali. Ia eratkan talinya sebesar lehernya dan kakinya pun mendorong kursi untuk menjatuhkan diri agar ia bisa bergelayut diantara lantai dan atap rumahnya.

Marina berhenti bernapas, arwahnya entah pergi kemana karena Malaikat Izrail tidak tahu kalau Marina akan meninggal cepat dari perkiraannya. Terdengar isak tangis Aisyah dan Fadil memecah keheningan rumah itu. Mbah Ndi datang kerumah Marina karena mendengar kedua anak itu tidak henti-hentinya menangis. Waktu Mbah Ndi masuk kedalam kamar, ia kaget tak dapat berkata apa-apa. Kini hanya ada tanah merah basah dan batu nisan yang bertuliskan “ MARINA BINTI SYAFE’I”, membuktikan bahwa Marina pernah hidup di dunia.


2 komentar: